Minggu, 17 Mei 2015

Cerpen Motivasi - Danau Bening

Dulu aku adalah seorang Mahasiswa dengan angan melambung tinggi menembus batas waktu dan realitas yang sesungguhnya. Sekarang akumerasa terlempar di tempat yang tak pernah terbayangkan. Tapi gadis itu, membuka kembali cakrawala baru, langit baru, bahkan melhirkan matahari baru dari bening matanya.

Bening matanya menyadarkanku, kalau selama ini aku tidak berpijak di bumi dan juga tidak menggantung di langit. Sundari nama sederhana dengan bening mata yang damai bagai danau biru, sejuk dan lembut. Tentu menyegarkan jiwa yang haus.

Sungguh menyejukkan saat aku masuk kelas dan melihat dia berada diantarapara siswi. Ya, danau benng itu adalah muridku. Aku tergagap, semua terasa mimpi yang tidak kunjung dimengerti ujung pangkalnya. Seolah olah aku masuk ke duniia lain, di planet asing.

Aku memula pertemuan - pertemuan pertama di kelas dengan pikiran tertatih - tatih, perasaan asing dan terlempar dari mmpi indah begitu menguasai jiwa. Tapi aku seorang Guru. Harus bisa menampilkan guru sebagai sosok tenang dan dewasa.

"Tahukah kalian, mengapa kita berada disini." dengan segala kewibawaan yang aku miliki, pertanyaan tu aku lontarkan.

Kemampuan teraterikal yang aku pelajari semenjak SMA benar - benar sangat membantu. Pandanganku menyapu seluruh kelas. Terakhir dengan kekhusukan hati pandanganku berakhir kepada gadis danau bening itu. Sundari tersenyum, aku semakin merasakan dia adalah danau bening. Aku pun tersenyum.

Karena kita mempunyai banyak kesamaan, sehingga pagi ini kita di pertemukan. Kita sama memiliki niat yang tulus untuk belajar, aku menjawab pertanyaanku sendiri. "Kita di pertemukan oleh kewajiban, kamu memiliki kewajiban untuk belajar dan saya mempunyai kewajiban untuk mengajar."

Waktu memang selalu mengalir kedepan dan tidak mungkin di undur. Hari terasa berlari dan aku melihat waktu berpacu. Sesekali menjadi damai dan menyenangkan dalam damai jika bersama dengan danau bening.

***
Tubuh yang kecil lincah bergerak dipematang sawah di belakang rumah, lewat jendela setengah terbuka aku selalu melihatnya di payungi senja, seperti ikan mas yang lagi berenang - renang dalam air bening, aku damai melihatnya.

Malam ini tidak seperti malam biasanya. Pintu rumah kontrakanku ada yang mengetuk. Ketika aku buka, si danau bening sudah berada di depan dengan senyum pancuran air. Lincah langkahnya memasuki ruang tamu. Seketika aku merasa damai, aku merasakan kesejukan angin gunung yang memancar dari tubuhnya.Kalimat centilnya bagai riak lembut dengan kecipak air, merdu di telinga.

"Apakah orang dewasa itu sering berbohong?" terkejut aku mendengar pertanyaan itu. Menerawang jauh menembus masa laluku. Waktu kecil aku juga mempunyai pikiran seperti itu. Ayahku mengajariku gemar untuk sedekah, sering marah bila pengemis mendekat kerumah.

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" Danau bening tersenyum. "Coba kamu jelaskan, tidak usah ragu..."

"Apakah kejujuran itu perlu?" kali ini aku benar - benar terdampar. Pertanyaan Danau bening seperti arus dalam. Tenang tapi menghanyutkan.

"Sangat perlu. Karena, kejujuran puncak ibadah. Jika kita tidak jujur, kita akan termasuk orang munafik yang di benci oleh Nabi."

"Apakah kejujuran itu baik?" sergah danau bening

"Kejujuran itu puncak kebaikan."

"Tapi mengapa orang - orang marah kepada saya, ketika saya berkata jujur dengan Pak Parmin bahwa makan uang riba itu dosa yang akan mengantarkannya ke neraka. Pak Parmin marah mau menampar saya, untung saya bisa lari. Pak lik juga ikut marah dan beberapa tetangga ikut marah."

Aku bergetar. Ruh ku yang mgungun bergelonjotan melompat - lompat, menabrak - nabrak dan akhirnya tertegun. Aku memandangi Danau bening. "Siapa Pak Parmin?"

"Seorang rentenir terbesar di desa ini, bahkan mungkin terbesar sekecamatan ini." kata Danau bening.

"Karena kadang orang sering kali menolak kebenaran yang telah di gariskan oleh Allah." bagai seorang resi yang baru turun gunung, aku mencoba berkata sebijak mungkin. Danau bening menahan nafas dalam. Dalam hatiku, tumbuh pikiran bahwa apa yang aku katakan menyinggung diriku sendri. Aku merasa Danau bening akan mengeluarkan batu - batu di dasarnya. "Keluarkan saja apa yang ada di dasar hatimu?"

"Pak Haji yang begitu anggun adalah khotbahnya dan mengutuk riba, sering makan malam bersama Pak Parmin, Bapak mengertiikan nasi itu berasal dari uang riba. Setelah itu mereka berdo'a bersama. Pak Haji pulang dengan terlebih dahulu ditempeli lembaran uang yang juga berasal dari riba"

Danau bening menunduk. Aku semakin takjub. Kalimat itu bagai air yang mengalir dalam bibirnya. Gadis seusianya telah banyak bergelut dengan realitas kehidupan. Sedangkan aku, selalu bergelut dengan pikiran - pikiran bagaimana membandingkan dengan pemikiran Hasan Hanafi dengan Khoemaini, atau IIbnu Khaldun dengan Habermas.

"Lalu saya berkata kepada Pak Haji." Danau bening mengangkat wajahnya. "Pak Haji. Uang dan makanan dari Pak Parmin itu dari riba, jadi haram hukumnya. Pak Haji marah, Ayah dan Ibu juga marah."

Dalam hati, saya membenarkan perkataan Danau bening. Aku sering kali melihat ketidak jujuran. Pak kyai dalam dakwahnya selalu mengutip ayat tentang pentingnya ukhuwah islamiyah. Tetapi selama setahun lebih tidak bertegur sapa dengan kyai sebelah rumah hanya masalah yang sepele.

"Mengapa orang dewasa, suka ketidak jujuran?" Kembali Danau bening bertanya.

"Karena, hati mereka tidak sebening hatimu."

"Mengapa hati mereka tidak bening?"

"Karena hati mereka penuh karat dan debu." aku meliirik Danau bening sesaat. "Karena, jarang membasuh jiwa mereka dengan air ketulusan."

"Diamana air ketulusan itu?"

"Di dalam hati yang jujur seperti hatimu."

"Bagaimana mengambilnya?"

"Dengan timba ikhlas dan tali iman."

"Dimana mengambilnya?"

"Di sumur hati terdalam. Sumur yang di gali oleh kesetiaan pada ajaran Allah dan Rasul-NYA."

"Apakah bapak tidak marah saya jujur terhadap bapak, seperti saya jujur kepada pak Parmin dan Pak Haji?"

"Bapak juga tidak jujur dengan diri sendiri. Bapak mengatakan islam menyuruh kita sabar. Tetapi bapak sendiri seringkali marah untuk persoalan sederhana yang seharusnya bisa di selesaikan dengan senyuman."

"Bapak juga mengatakan sholat Jum'at itu paling baik di shaf terdepan. Tetapi bapak selalu terlambat sehingga di shaf akhir. Bapak juga mengatakan betapa pentngnya membaca Al-Quran tetapi saya sangat jarang meliihat bapak membacanya"

Aku bergetar dan hampir saja marah terlontar. Tetapi, kalau aku marah, apa bedanya dengan Pak Parmin rentenir itu. Danau bening menunduk. Aku menangis tersedu.

"Apakah kejujuran itu perlu?"

"Sangat perlu." suaraku serak.

"Mengapa bapak menangis?" Danau bening kembali memancarkan kesejukan. "Bapak marah?"

"Aku terharu... Aku berterima kasih kepadamu. Engkau jujur." aku berkata semakin serak. "Engkau menyelamatkanku."

"Benar bapak tidak marah?"

"Demi Allah, saya tidak marah."

Danau bening tersenyum lalu bersujud. Airmataku semakin deras mengalir. Seandanya Indonesia di pimpin oleh seorang seperti Sundari, gadis beningku, kita tidak akan melihat darah yang tumpah dan sejuta masalah yang tdak ada ujung pangkalnya. Tapi aku sendiri tak seratus persen jujur, karena sempat menyimpan marah walau tidak terlontar....


'-"

Semoga bermanfaat dan penuhb dengan kebarokahan dari Allah....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar